gambar. Diberdayakan oleh Blogger.

Foto: doc.pribadi

Oleh: Yulianus Soni Kurniawan
Mahasiswa Fakultas Hukum UGM Yogyakarta
Tindakan Ketua DPRD Manggarai Timur, Yohanes Nahas,  yang melarang wartawan memberitakan kasus korupsi di Manggarai Timur (The Indonesian Way, Minggu (19/1/2014) merupakan bentuk “eigenrichting”  atau tindakan main hakim sendiri. Perbuatan ini tidak sesuai dengan aspirasi rakyat yang mengehendaki adanya transparansi dalam praktek kekuasaan di Manggarai Timur melalui media sebagai pilar keempat demokrasi.
Pola berpikir eigenrichting  ini merupakan keberlanjutan dari cara pikir fasisme yang menginjak-injak demokrasi dan hak asasi manusia. Dalam bingkai pemikiran ini, negara diperlukan untuk mengatur rakyatnya. Oleh karena itu, pemerintah mengatur  apa saja yang diperlukan dan tidak diperlukan rakyat dengan tujuan untuk melindungi kepentingan kaum elit serta golongan menengah ke atas. Pada titik ini, konstitusi harus tunduk pada kehendak pemerintah, bukan pemerintah yang harus memahami konstitusi.
Sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, tindakan Nahas ini merupakan perbuatan melawan hukum.  Padahal perubahan ke empat UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 1 ayat 3 menegaskan bahwa negara indonesia adalah negara hukum.
Konsep ini menegaskan bahwa kekuasan yang dimiliki oleh penguasa harus berdasarkan konstitusi bukan berdasarkan kekuasaan belaka. Karena itu, tafsiran a’ contrario dari ketentuan pasal 1 ayat 3 adalah bahwa setiap tindakan yang melampaui batas kewenangan yang diberikan oleh konstitusi adalah perbuatan melawan hukum.
Pasal 1 ayat 2 menegaskan bahwa kedaulatan negara ada di tangan rakyat dan dijalankan oleh undang-undang. Implementasinya adalah kehadiran lembaga perwakilan rakyat yang bertujuan untuk mengakomodasi aspirasi rakyat, bukan aspirasi pribadi, golongan maupun kerabat dekat yang mempunyai kepentingan.
Jadi, tindakan Ketua DPRD Manggarai Timur memang sangat layak untuk dikritisi dan dikecam mengingat pemilu legislatif akan segera dimulai. Tindakan ini mengangkangi hukum yang menjadi panglima di negeri ini dan tidak sesuai dengan spirit dari pendiri bangsa.
Bung Karno pernah berkata, “Kita ingin mendirikan satu negara, ‘semua buat semua’, bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya, tetapi kita mendirikan negara ‘semua buat semua’”. (***)

0 komentar:

Posting Komentar

thank's gan atas semua komennya????