oleh: Yulianus Soni Kurniawan
Mahasiswa Fakultas Hukum UGM Yogyakarta
Kepala Sekolah SDK Wudi, Kecamatan Cibal, Manggarai, NTT, Yeremian Jenarut, tiba-tiba menjadi terkenal. Bukan prestasi yang membuat dia terkenal, melainkan tindakan asusilanya. Dia tega mencabuli murid-muridnya sendiri. Tak tanggung-tanggung, 21 orang siswi menjadi korbannya. (Baca: theindonesianway.com, Rabu, 12/2/2014).
Tindakan pelecehan seksual disertai ancaman yang dilakukan oleh Yeremian Jenarut merupakan suatu bentuk penyiksaan psikologis. Tindakan pemaksaan seksual dengan ancaman ini menunjukkan korban berada dalam kekuasaan si pelaku. Korban terpaksa menuruti kehendak pelaku, meskipun korban menyadari bahwa tindakannya merugikan dirinya sendiri.
Peristiwa ini sungguh menyedihkan dan memalukan bagi dunia pendidikan. Apalagi ini dilakukan oleh seorang kepala sekolah yang bertindak sebagai orang tua bagi siswa-siswi di sekolah. Sebagai guru, dia bertugas untuk mencetak generasi penerus bangsa; tidak hanya penerus bangsa yang berkompeten dalam bidang ilmu pengatahuan tetapi juga generasi yang bermoral dan beretika.
Dalam menjalankan tugasnya, guru mempunyai tiga tugas pokok yaitu: tugas profesional, tugas kemasayarakatan dan tugas manusiawi. Tugas profesional berkaitan dengan profesinya yaitu mengajar, mendidik dan melatih siswa-siswinya menjadi manusia yang cerdas dan terampil.
Tugas kemasyarakatan berkaitan dengan peran guru sebagai faktor penentu yang tak bisa digantikan oleh komponen manapun dalam kehidupan bangsa. Dia tampil sebagai anggota masyarakat dan warga negara yang bertugas mencetak generasi penerus bangsa.
Tugas Manusiawi berhubungan dengan fungsinya sebagai orang tua kedua bagi siswa-siswinya di sekolah. Tugas mendidik anak-anak menjadi manusia yang berakhlak tak terlepas dari peran seorang guru.
Karena itu, sungguh miris rasanya ketika 21 siswi SDK Wudi yang masih merancang masa depannya justru dihantui oleh rasa takut yang mengerikan akibat tindakan seorang kepala sekolah yang tak bermoral. Siswi-siswi SDK Wudi yang masih polos itu tak pernah membayangkan seorang guru yang menjadi tokoh idola dan panutannya, justru tega menjadikan mereka sebagai obyek kekerasan seksual.
Dari segi hukum, tindakan Yeremian Jenarut ini masuk dalam kategori pelanggaran HAM. Pasal 65 UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan, “Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotopika, dan zat adiktif lainnya”.
Lebih Lanjut, dalam pasal pasal 66 ayat 3 UU Nomor 39 Tahun 1999 ditegaskan, “Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum”. Ketentuan pasal diatas sudah secara jelas dan tegas mengatakan bahwa tindakan pelecehan seksual dan perampasan kebebasan si anak tidak dibenarkan oleh Undang-Undang.
Oleh karena itu, pemerintah Kabupaten Manggarai berkewajiban, baik secara hukum maupun secara sosial-politik, mengambil terhadap Yeremian Jenarut demi tegaknya hak asasi manusia. Pemerintah Kabupaten Manggarai harus mencopot Yeremian Jenarut dari posisinya sebagai Kepala Sekolah SDK Wudi dan menyelesaikan kasus ini secara hukum. Jika terbukti bersalah, dia harus dimasukkan ke penjara dan mencopot statusnya sebagai pegawai negeri sipil. Tindakan ini harus dilakukan agar kejadian seperti ini tidak terulang lagi dan menodai dunia pendidikan di Indonesia.
Bagaimana pun, hak asasi manusia dan kebebasan dasar adalah hal yang paling hakiki yang melekat dalam diri manusia. Tanpa hak asasi manusia dan kebebasan dasar, manusia yang bersangkutan kehilangan harkat dan martabat kemanusiaannya. Ramsey Clark pernah berkata: “Hak bukanlah apa yang diberikan seorang kepadamu, melainkan apa yang seorangpun tidak bisa ambil dari padamu”. (***)
0 komentar:
Posting Komentar
thank's gan atas semua komennya????