gambar. Diberdayakan oleh Blogger.

Mempersoalkan Pluralisme Bangsa

Mempersoalkan Pluralisme Bangsa
Kehidupan di negara Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, agama dan ras menjadi sebuah ujian bagi kelangsungan negara ini. Pada dasarnya pluralisme adalah anugrah terindah yang dimiliki bangsa ini, namun akan menjadi bumerang jika kita masih berpikir homogen, kelompok tertentu memanfaatkan statusnya  tanpa menyadari bahwa sesungguhnya negara ini bukanlah negara berkelompok tetapi negara bersama, diperjuangkan secara bersama-sama, hidup di dalam wilayah negara yang sama, satu bahasa yang sama dan dipimpin oleh pemimpin yang dipilih secara bersama-sama. Kita sadar atau tidak, berbagai persoalan ras, suku, dan agama yang terjadi belakangan ini begitu sering terjadi, mulai persoalan penempatan jabatan pemerintahan, politik dan masalah sosial-kemasyarakatan. Pergeseran pola berpikir dan pengkotak-kotakan individupun nampak kelihatan dengan berpikir homogen yang mengatasnamakan agama, suku dan ras dalam memecahkan setiap persoalan, padahal sesungguhnya pola berpikir seperti itu, langkah menuju perpecahan.
Paham homogen secara tak langsung merupakan keberlanjutan dari politik devide et impera, politik yang menghancurkan semangat persatuan bangsa dan menaburkan benih-benih jahat untuk merobohkan Bhineka Tunggal Ika. Berpikir anti pluralis menciptakan pertikaian, siasat jitu menuju perpecahan, jembatan menuju penyelewengan kekuasaan karena bertentangan dengan konstitusi yang menghormati pluralisme dan semangat persatuan bangsa yang tertuang dalam sila ketiga Pancasila, sebagai landasan dan pedomaan bagi bangsa ini dalam mewujudkan cita-citanya. Paham mayoritas boleh saja dijadikan acuan tetapi harus bisa menempatkan dirinya  dalam suatu negara yang pluralis,  supaya kaum minoritas tidak mengaggap dirinya hidup dalam negara bayangan, negara tanpa aspirasi minoritas, bahkan bukan bagian dari rakyat negara. Menghargai setiap perbedaan adalah impian dari negara yang pluralis, tetapi pertanyaannya, masih mampukah negara indonesia mempertahankan pluralisme itu? Ironis sekali di negara yang katanya kaya akan kemajemukannya tetapi menjadi menderita karena kemajemukannya. Anugrah yang seharusnya kita jaga dan lestarikan tetapi menjadi penyebab kedengkian dan kebencian bahkan siasat adu dombapun muncul dalam setiap penyebab konflik sehinggah teror psikis terhadap setiap individu-individupun sering terjadi. 
Pertanyaan-pertanyaan diatas muncul sebagai jawaban atas fakta yang terjadi di negara indonesia saat ini, pertikaian, pergolakan, dan perang melawan kemajemukan bangsa mewarnai fenomena sosial masyrakat, entah kita sadar atau tidak  tetapi begitulah faktanya. Masyarakat dan bangsa Indonesia adalah sebuah masyarakat yang amat majemuk dari segi suku, agama, dan golongan. Kemajemukan multidimensi seperti ini, terutama kemajemukan dari segi agama, memendam potensi konflik, yang sewaktu-waktu dapat meledak jika kemajemukan itu tidak dikelola dengan arif. Kemajemukan bangsa kita bukanlah sesuatu yang mengejutkan, sebagaimana yang dialami bangsa-bangsa lain, tapi realitas kemajemukan itu sendiri seringkali merupakan persoalan besar yang pada gilirannya dapat ikut memperlemah persatuan dan kesatuan bangsa. Berbagai konflik yang dikategorikan berbau SARA, yang pernah terjadi di beberapa daerah disebabkan karena realitas kemajemukan tidak dipahami, tidak dipedulikan dan tidak diberi perhatian serius.
Indonesia yang terbangun dari struktur masyarakat yang berbeda-beda, tak dapat menghindar dari keniscayaan kemajemukan (pluralisme). Sejarah telah menorehkan realitasnya melalui wujud kemerdekaan keindonesiaan sebagai hasil bahu-membahu dari kekuatan kemajemukan yang dimiliki oleh bangsa ini. Konflik yang terjadi belakangan ini dan ketegangan politik menggoreskan luka pada sebuah lembar sejarah mengenai bangsa ini yang katanya dahulu dalam keberagamannya saling bersatu padu mengusir penjajah keluar dari bumi pertiwi ini, tetapi faktanya sekarang, kita adalah bangsa yang beragam tetapi tak bisa diseragamkan. Negara kita memang menghadapi masalah multi-kulturalisme atau multi-etnisisme. Berbagai fenomena masyarakat mempertontonkan bahwa ada sebagian masyarakat Indonesia menegaskan  identitas kelompok etnis atau komunalnya dan banyak penduduk yang memandang diri mereka sendiri sebagai suatu komunitas kultural tersendiri, komunitas yang seringkali memiliki bahasa, agama, kekerabatan, dan ciri-ciri fisik (seperti warna kulit) sendiri, atau berbeda agama tetapi berbicara dalam bahasa yang sama. Banyak kalangan seperti ini yang cenderung memilik penilaian negatif terhadap anggota kelompok etnik lain.
Menyadari realitas kemajemukan itu sebagai tugas besar bangsa kita dalam membangun masa depan, maka hubungan dan kerjasama antar umat beragama harus dikembangkan dan menjadi program yang berkesinambungan, baik yang dilaksanakan oleh umat beragama dan lembaga-lembaga keagamaan maupun atas prakarsa Pemerintah. Program-program edukasi seperti menanamkan nilai-nilai wawasan kebangsaan terhadap generasi penerus demi mengembangkan wawasan berpikir tentang kemajemukan bangsa merupakan suatu program penting untuk menyadarkan kembali bahwa seperti inilah struktur sosial masyarakat indonesia dan harus diterima sebagai realitas bangsa. Wawasan kebangsaan adalah suatu pola pikir berciri non diskriminatif, yang memberikan kerangka berpikir dalam masyarakat indonesia tanpa memandang suku, agama, dan golongan yang hidup bersama, bekerja bersama untuk membangun masa depan bersama, dengan tetap berpijak pada visi teologis yang diyakini setiap orang. Wawasan kebangsaan adalah pemikiran yang ”mengakomodasi”, ”memberi tempat”, ”menghargai” kelompok lain dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Jadi, berpikir anti pluralis harus dihindari, mengembangkan nilai-nilai sosial yang bisa menjaga kemajemukan bangsa menjadi program yang harus dilakukan secara berkesinambungan karena menghidupi dan menjalani kehidupan di negara seperti indonesia,  harus kita hidupi dan nikmati sebagai negara yang majemuk sebab begitulah realitas kita bahkan sejak awal pendiri bangsa ini menyadari realitas kita sebagai bangsa majemuk, sehinggah hadirlah pancasila sebagai dasar negara yang merupakan implikasi nyata kemajemukan kita. Wawasan kebangsaan yang berpijak pada latar belakang sosial masyarakat indonesia dengan mengedepankan pola berpikir non diskriminatif adalah kehendak dari realitas bangsa kita sebagai bangsa yang majemuk dan beranekaragaman.

Perpu Mahkamah Konstitusi Konstitusional
Beberapa dekade terakhir ini, banyak pakar hukum mempertanyakan mengenai Perpu Mahkamah Konstitusi, yang bertujuan untuk mengembalikan tugas, fungsi dan kewenangan Komisi Yudisal (KY) dalam hal melakukan pengawasan terhadap hakim-hakim konstitusi, apakah konstitusional atau tidak?. Beberapa pakar hukum berpendapat bahwa  Perpu Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 24 Tahun 2003 (Perpu MK) yang bertujuan untuk menegembalikan fungsi, tugas dan kewenangan Komisi Yudisial untuk mengawasi hakim-hakim konstitusi, bersifat inkonstitusional karena bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi No 005/PUUIV/2006 mengenai uji materiil UU No 22/2004 tentang Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi membatalkan sejumlah Pasal yang terdapat dalam UU No 22/2004, khususnya pasal-pasal yang berkaitan dengan fungsi, tugas, dan kewenangan Komisi Yudisial (KY) dalam hal melakukan pengawasan terhadap hakim-hakim konstitusi.
Berdasarkan stufentheorie (teori tangga), Hans Kelsen Menegaskan bahwa norma hukum selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, Norma hukum dibawah berlaku, bersumber dan berdasarkan pada norma tertinggi yaitu norma dasar. Implementasi dari teori ini dalam tata urutan peraturan perundang-undangan yaitu asas hukum lex superior derograt legi inferior ( peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannnya tidak boleh bertentangan dengan peratutan yang lebih tinggi). Tata urutan peraturan perundang-undangan  menempatkan Perpu di bawah Undang-Undang Dasar Tahun 1945 setelah Tap MPR. Konstruksi hukumnya logis ketika Perpu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sesuai dengan asas  hukum lex superior derograt legi inferior maka Perpu itu bersifat inkonstitusional, tetapi permasalahan yang terjadi sekarang adalah apakah benar Perpu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945? Pasal berapakah dalam Konstitusi yang menegaskan Perpu untuk mengembalikan fungsi, tugas dan kewenanagan Komisi Yudisial (KY) adalah inkonstitusional? 
Menurut saya, ada tiga alasan Perpu Mahkamah Konstitusi bersifat konstitusional pertama, Perpu Mahkamah Konstitusi yang betujuan untuk mengembalikan tugas, fungsi dan kewenangan Komisi Yudisial bersifat konstitusional, karena pasal 24C ayat (1) UUD Tahun 1945 hanya ditegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Pertanyaan apakah ketentuan UUD Tahun 1945 menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang melakukan uji materi Perpu terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945?. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 secara terang-terangan, tidak menegaskan hal tersebut, meskipun dalam tata urutan peraturan perundang-undangan kedudukan Perpu dan Undang-Undang adalah sejajar tetapi hakikat lahirnya kedua peraturan perundang-undang tersebut adalah berbeda, serta proses terbentuknya juga berbeda. Undang-Undang lahir sebagai jawaban atas tuntutan masyarakat, dan untuk menggantikan peraturan perundang-undangan sebelumnya yang tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat, serta hasil bentukan Dewan Perwakilan Rakyat yang dirancang secara bersama-sama antara DPR bersama presiden (pasal 20 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945), sedangkan Perpu hadir dalam hal ikhwal kegentingan memaksa yang ditetapkan oleh presiden melalui persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dan pertimbangan Mahkamah Agung, sehinggah antara kedua peraturan tersebut harus dipisahkan secara tegas meskipun kedudukannya sejajar. Permasalahan yang terjadi beberapa dekade terakhir ini karena para pakar hukum yang berpendapat Perpu Mahkamah Konstitusi adalah inkonstitusional, berasumsi bahwa kedudukan antara Perpu dan Undang-Undang adalah sama, sehinggah hasil uji materi  UU No 22/2004 yang membatalkan sejumlah Pasal tentang fungsi, tugas, dan kewenangan Komisi Yudisial (KY) dalam hal melakukan pengawasan terhadap hakim-hakim konstitusi berlaku juga terhadap Perpu Mahkamah Konstitusi, padahal belum terdapat satu pasalpun dalam ketentuan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang memberikan hak dan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk menguji Perpu terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945, sehinggah tafsiran ini keliru karena menambah kewenangan kepada Lembaga Mahkamah Konstitusi yang secara tegas tidak diatur di dalam konstitusi dan jika kewenangan menguji Perpu diserahkan kepada lembaga Mahkamah Konstitusi maka kewengan itu bersifat inkonstitusional karena bertentangan dengan tugas dan kewenangan Mahkamah Konstitusi yang sudah ditegaskan di dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
 Kedua, mekanisme perubahan Undang-Undang Dasar 1945 juga secara tegas diatur dalam Undang-Undang dasar Tahun 1945 yaitu pasal Pasal 37 ayat (1), (3) dan (4) yang masing-masing bunyinya sebagai berikut :
Ayat  (1)  Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Ayat (3) Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang dasar, sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dihadiri oleh skurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Ayat  (4)  putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Implementasi dari pasal-pasal diatas menegaskan bahwa hanya melalui sidang paripurna Majelis Permusyawaratan yang dihadiri sekurang-kurangya 2/3 dari jumlah anggota Majleis Permusyawaratan Rakyat dan mendapat persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat sajalah yang dapat merubah atau menggantikan  pasal-pasal Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sehinggah, apabila Perpu dikatakan inkonstitusional karena bertentangan dengan Putusan Mahkamah Kontitusi No 005/PUUIV/2006 mengenai uji materiil UU No 22/2004 tentang Komisi Yudisial, yang membatalkan sejumlah Pasal di dalam UU No 22/2004, khususnya pasal-pasal yang berkaitan dengan fungsi, tugas, dan kewenangan Komisi Yudisial (KY) dalam hal melakukan pengawasan terhadap hakim-hakim konstitusi, pertanyaannya, apakah putusan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah Undang-Undang Dasar 1945? Apabila putusan tersebut adalah Undang-Undang Dasar 1945, apakah tujuan pasal 37 Undang-Undang Tahun 1945 tentang mekanisme perubahan Undang-Undang Tahun 1945?
Ketiga, Perpu Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 24 Tahun 2003  hadir dalam hal ikhwal kegentingan memaksa, karena Perpu ini berusaha menyelematkan lembaga Mahkamah Konstitusi dari persepsi buruk publik terhadap Mahkamah Konstitusi sendiri. Seluruh rakyat indonesia paham bahwa hadirnya Mahkamah Konstitusi sebagai jawaban atas agenda reformasi yaitu pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme serta mengukuhkan kembali status negara kita sebagai negara hukum, bahkan di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Prubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi menempatkan Mahkamah konstitusi sebagai negarawan, sehinggah untuk menyelamatkan status dan kedudukan lembaga ini, sudah sepatut dan selayaknya Perpu itu dikeluarkan. Konteksnya berbeda ketika terjadi korupsi di institusi-institusi penegak hukum yang lain karena praktek – praktek terlarang sudah sejak lama terjadi dan bukan merupakan institusi baru sabagai hasil agenda reformasi. Beban terbesar lembaga Mahkamah Konstitusi adalah lembaga ini hadir sebagai agenda reformasi untuk menjawab tuntutan masyrakat karena masyrakat menganggap bahwa intitusi-intitusi penegak hukum lainnya sangat rentan dengan korupsi. Pernyataan ini bukan berarti bahwa, saya sepakat dengan kasus-kasus korupsi di intitusi-intitusi-institusi penegak hukum seperti, kejakasaan dan kepolisian tetapi saya hanya melihat peluang persepsi buruk publik terhadap lembaga mahkamah konstitusi dengan intitusi-intitusi penegak hukum yang lain.  
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tidak menegaskan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi adalah Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tetapi hanya terbatas pada hak dan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk melakukan uji materi Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak ditegaskan pula mengenai tugas dan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Perpu terhadap undang-Undang Dasar Tahun 1945, sehinggah Perpu Mahkamah Konstitusi untuk mengembalikan tugas, fungsi dan kewenangan Komisi Yudisial tetap bersifat konstitusional. Perpu Mahkamah konstitusi juga hadir dalam hal ikhwal kegentingan memaksa untuk menyelamatkan lembaga MK dari persepsi buruk publik sebagai konsekuensi agenda reformasi. 

Senin, 04 November 2013


Korupsi Sebagai Komoditi
Bebarapa tahun terakhir ini, sebagaian besar kalangan seperti tokoh masyarakat, tokoh pendidik, tokoh agama dan LSM (lembaga Swadaya Masyarakat) tertuju pada masalah korupsi. Korupsi dijadikan sebagai suatu komoditi yang paling mengutungkan karena diperoleh secara mudah, tanpa kerja keras, sehinggah menjadi suatu penyakit turun-temurun di negara ini dan sampai sekarang tetap dipertahankan. Kasus-kasus korupsi sekarang menjadi populer, bahkan menjadi bagian dari tranding topik  berbagai  media massa, seperti: Koran, Televisi, dan Radio, anehnya aparat penegak hukumpun tak luput dari korupsi. Negara ini katanya “negara kaya raya” tetapi masih banyak pengangguran, rakyat menderita, kesenjangan sosial dimana-dimana, tetapi korupsi terus bertambah dan semakin meningkat. Duka dan nestapa mewarnai setiap perjuangan dari nenek moyang kita dalam mempertahankan kemerdekaan negara ini dari penjajahan, namun sekarang sungguh sedih rasanya ketika negara ini dijajah oleh orang-orang kita sendiri, orang-orang yang telah dipercayakan oleh rakyat sebagai penyelenggara negara berdasarkan undang-undang. Kemerdekaan yang sesungguhnya diharapkan oleh rakyat adalah pemegang kekuasaan memegang teguh kepercayaan rakyat  dengan mentaati aturan hukum sebagai dasar penyelenggaraan negara, rupanya semua hal ini hanyalah wacana dan slogan pasif yang tak pernah dipikirkan oleh pemegang kekusaan. Keserakahan dan kerakusan membutakan mata para pemegang kekuasaan untuk melihat penderitaan rakyat, kepentingan diri dan golongan lebih diutamakan, dusta dan penipuan diagung-agungkan, bahkan dijadikan sebagai siasat jitu untuk menggolkan kebohongan.
Menurut saya, perombakan sistem hukum merupakan salah satu cara untuk meminimalisir kebiasaan korupsi, karena saya percaya suatu sistem hukum yang baik dapat memerintahkan orang jahat untuk mematuhi aturan hukum itu tetapi, sistem hukum yang jelek dapat memerintahkan seseorang yang moralnya  baik  menjadi  jahat. Sistem hukum yang saya tawarkan adalah hukuman mati bagi para koruptor, karena koruptor merupakan pembunuhan sadis terhadap karakter bangsa terutama generasi penerus, sehinggah segala bentuk korupsi harus dibasmi tanpa terkecuali siapapun pelakunya.

Korupsi Racun Negara
Persoalan korupsi di negara kita sampai saat ini tak kunjung berakhir, segala cara dilakukan acapkali gagal dan menemukan jalan buntu. Berbagai macam ide, aksi demontrasi bahkan membentuk suatu lembaga baru untuk menyikapi persoalan korupsi, namun semua itu hanyalah sia-sia belaka. Korupsi adalah racun negara, racun yang menghancurkan karakter bangsa, generasi bangsa ,membahayakan negara, dan kelangsungan sebuah negara karena racun ini sudah mengalir dalam darah dan menyatu dengan hati dan pikiran para pemegang kekuasaan, lahir dari akhlak jahat dan pikiran busuk para elit kekuasaan sehinggah sulit untuk diobati dengan cara apapun. Lahirnya salah satu lembaga baru yaitu Mahkamah Konstitusi dengan harapan akan mewujudkan cita-cita rakyat dan memulihkan persepsi buruk rakyat terhadap aparat penegak hukum di negara kita ini, tetapi ternyata  lembaga Mahkamah Konstitusi menunjukkan wajah yang serupa, dengan menghadir aktor-aktor baru yaitu Akhil Mochtar (Ketua Mahkamah Konstitusi) melalui kasus suapnya yang fenomenal terjadi beberapa hari belakangan ini. Kemiskinan, kesenjangan sosial bahkan kelaparan telah menyelimuti hampir sebagaian wilayah indonesia ini, namun korupsi terus hadir, terus bertambah dan anehnya korupsi justru hadir pada saat-saat negara ini terpuruk oleh persoalan globalisasi yang telah melanda dunia internasional. Pertanyaan apakah obat yang cocok untuk menetralisir racun korupsi di negara ini?. Banyak pengamat politik, hukum dan Lembaga Swadaya Masyarakat selalu menggembor-gemborkan moral dari setiap pemegang kekuasaan bahkan persoalan moral selalu muncul dalam setiap solusi pada kasus korupsi sampai kata moral itu, menjadi busuk karena hanyalah slogan pasif saja tetapi aktor-aktor korupsi terus bertambah. Mengobati racun korupsi merupakan ujian terberat bagi bangsa ini terutama generasi penerus bangsa yang telah dididik dengan idealisme tinggi untuk menentang korupsi. 

0 komentar:

Posting Komentar

thank's gan atas semua komennya????